Doom Spending Tren Konsumsi – Sebagian anak muda, terutama generasi Z dan milenial, kini lebih memilih untuk menghabiskan uang mereka pada barang-barang mewah, seperti pakaian dari desainer ternama atau perjalanan ke luar negeri. Bagi mereka, menghabiskan uang untuk gaya hidup dianggap lebih penting daripada menabung untuk masa depan.
Menurut Psychology Today, fenomena ini dikenal dengan istilah “doom spending”, yakni kebiasaan berbelanja secara impulsif untuk mengatasi perasaan pesimistis atau ketidakpastian terhadap ekonomi dan masa depan. Kebiasaan ini sering kali dilakukan sebagai pelarian dari kecemasan terhadap situasi dunia yang tak menentu.
Doom Spending: Kebiasaan Belanja yang Tidak Sehat dan Fatalistik
Ylva Baeckström, dosen senior di bidang keuangan di King’s Business School, menjelaskan bahwa fenomena doom spending adalah praktik yang tidak sehat dan fatalistik.
Baeckström menyoroti bahwa anak muda, terutama generasi Z dan milenial, lebih banyak terhubung secara online dan terpapar oleh berita buruk secara terus-menerus. Paparan tersebut berdampak pada emosi mereka, mendorong rasa pesimistis dan cemas, yang pada akhirnya memicu kebiasaan belanja impulsif sebagai cara untuk melarikan diri dari kecemasan tersebut.
Doom Spending sebagai Pelarian dari Tekanan Sosial dan Ekonomi
Fenomena doom spending tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga di berbagai negara. Menurut survei yang dilakukan oleh Intuit Credit Karma pada November 2023, sebanyak 96% orang Amerika menyatakan kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi, dan lebih dari seperempat dari mereka terlibat dalam doom spending untuk mengatasi stres.
Seorang publicist, Stefania Troncoso Fernández, yang telah pulih dari kebiasaan doom spending, mengakui bahwa inflasi tinggi dan ketidakpastian politik membuatnya sulit menabung secara rasional.
“Saya tahu harga makanan terus naik setiap hari, dan kita tidak bisa makan seperti setahun lalu karena semuanya semakin mahal,” jelas Stefania.
Tak hanya itu, Daivik Goel, pendiri startup bioteknologi berusia 25 tahun, juga mengakui pernah terjebak dalam doom spending. Kebiasaan ini muncul sebagai cara melarikan diri dari ketidakpuasan terhadap pekerjaannya dan tekanan sosial dari teman-temannya. “Ini semua tentang perasaan ingin melarikan diri,” ungkap Daivik.
Cara Mengatasi Doom Spending
Daivik Goel mengakui bahwa dirinya dulu sering menghabiskan uang untuk pakaian desainer, teknologi terbaru, dan minum di luar. Fenomena doom spending ini menurutnya sangat umum di Silicon Valley, di mana banyak orang lebih memilih membeli barang-barang mewah dibandingkan menabung untuk membeli rumah karena harga properti yang sangat tinggi.
Namun, sejak mendirikan perusahaan fintech, kebiasaan doom spending-nya perlahan hilang karena ia menemukan kebahagiaan dan kepuasan dalam pekerjaannya. “Pola pikirku sepenuhnya berubah,” katanya.
Untuk mengatasi kebiasaan ini, Ylva Baeckström menekankan pentingnya memahami hubungan kita dengan uang. Seperti hubungan dengan orang lain, hubungan dengan uang terbentuk sejak kecil.
“Jika kamu merasa aman dengan uang, kamu bisa membuat keputusan yang masuk akal. Tapi jika kamu merasa tidak aman, kamu lebih mungkin terjebak dalam perilaku pengeluaran yang buruk,” jelas Baeckström.
Stefania Troncoso Fernández juga menyebut bahwa sebagian dari alasan ia terjebak dalam doom spending adalah karena kurangnya literasi keuangan. “Ayah saya tumbuh dalam kemiskinan dan tidak ada yang mendorongnya untuk menabung,” tambahnya.
Meningkatkan Kesadaran saat Berbelanja untuk Mengatasi Doom Spending
Samantha Rosenberg, salah satu pendiri platform pembangunan kekayaan Belong, menyarankan untuk membuat proses belanja menjadi lebih sulit agar kita lebih sadar saat membeli sesuatu. Menurutnya, belanja online yang sangat mudah sering kali memicu pengeluaran impulsif, sementara melihat barang secara langsung di toko bisa membantu mencegahnya.
“Poin pengambilan keputusan tambahan, seperti pergi ke toko, mengevaluasi barang, dan mengantre, bisa membuat kita lebih kritis tentang pembelian kita,” jelas Rosenberg.
Selain itu, Rosenberg juga merekomendasikan untuk mulai kembali menggunakan uang tunai. Metode pembayaran digital yang cepat, seperti Apple Pay, membuat kita lebih mudah menghabiskan uang tanpa berpikir panjang.
“Mereka menghilangkan rasa sakit saat menyerahkan uang,” tambahnya. Rosenberg menyarankan agar kita meningkatkan “rasa sakit saat membayar” dengan cara-cara yang lebih tradisional untuk membantu mengurangi kebiasaan berbelanja impulsif.
Baca juga artikel kesehatan lainnya.